Studi: 2 Tahun Berturut-turut Polutan Atmosfer Bebas Jabodetabek Terus Memburuk

Studi: 2 Tahun Berturut-turut Polutan Udara Bebas Jabodetabek Terus Memburuk

Lingkar Post – Zat Berbahaya udara dalam Jabodetabek yang tersebut kian memburuk tidak sekadar klaim asal-asalan. Hal ini rupanya dibuktikan secara langsung oleh regu peneliti dari Kementerian Kesehatan.

Ketua Komite Penanggulangan Penyakit Respirasi juga Efek Zat Berbahaya Udara, Kemenkes, Dr. Agus Dwi Susanto mengungkap selama 2 tahun polusi udara Ibukota lalu Bodebek masuk kategori buruk alias melebihi batas WHO.

Dijelaskan Dr. Agus berdasarkan data Organisasi Bidang Kesehatan Global atau WHO, udara masuk kategori tidaklah sehat apabila AQI (indeks kualitas udara) berada di dalam bilangan 151 hingga 200. Sedangkan, udara sangat tak sehat di dalam nomor 201 hingga 300.

“Jadi pada 2 tahun terakhir dalam Jabodetabek, tren polusi udara melebihi batas aman WHO,” ujar Dr. Agus pada acara Bicara Lingkungan di area Auditorium Wisma Barito Pacific II, Tomang, Jakarta, Hari Jumat (24/11/2023).

Ilustrasi polusi udara (Pexels.com/Natalie Dmay)
Ilustrasi polusi udara (Pexels.com/Natalie Dmay)

Ia juga menambahkan, kondisi ini diperparah dengan data pemantauan kualitas udara dalam Jabodetabek 14DMA, yang dimaksud menunjukan pada DKI Ibukota terjadi tren penyakit pernapasan pada satu tahun terakhir.

Baca Juga  New Delhi lanjutkan aktivitas di area sedang polusi "berbahaya"

“Penyakit pernapasan ini meliputi persoalan hukum infeksi saluran napas menghadapi atau ISPA di tempat DKI Jakarta,” papar Dr. Agus.

Fakta ini sesuai dengan penelitian di area RSUP Persahabatan 2019 terjadinya pertambahan penyakit asma di tempat DKI Jakarta pada usia remaja muda yakni 13 hingga 14 tahun. Ditemukan juga prevalensi asma di area kota seperti DKI Jakarta tambahan tinggi dibandingkan dengan desa.

“Jadi pada 2008 di area pedesaan total prevalensi asma remaja di dalam desa sekitar 7 persen, sedangkan di area Ibukota Indonesia sebesar 12,2 persen serta salah faktornya faktor asma yaitu polusi udara,” jelas Dr. Agus.

Di acara yang digunakan sama, Pakar Kesejahteraan dari Fakultas kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), dr. Frida Soesanti menjelaskan kesulitan polusi udara harus segera ditangani. Sebab, berdasarkan penelitiannya, kondisi PM 2.5 tahun 2023 melonjak naik sebanyak 12,5 kali dibandingkan beberapa tahun ke belakang sebanyak 8 kali.

Baca Juga  Ahli ungkap prospek pemanfaatan fitofarmaka di dalam Indonesia

“Paparan PM 2.5 meningkatkan resiko peningkatan tekanan darah pada bayi. Semakin tinggi paparan polusi, semakin rendah berat badan lahir dan juga semakin pendek panjang badan lahir bayi, maka bayi berisiko untuk terkena stunting. Bukannya kita jadi generasi emas, malah generasi cemas, we have to do something,” jelas dr. Frida.

Suasana Ibukota yang mana terlihat samar lantaran polusi udara difoto dari menghadapi Gedung Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Jakarta, Selasa (25/7/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]
Suasana Ibukota yang digunakan terlihat samar lantaran polusi udara difoto dari melawan Gedung Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Jakarta, Selasa (25/7/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]

Selain remaja, Dr. Agus Dwi Susanto menambahkan, ibu hamil dan juga anak merupakan salah satu kelompok yang mana sensitif terhadap polusi udara. Apalagi Perubahan fisik ibu hamil sudah ada membuatnya rendah mengalami inflamasi, lalu polusi udara bisa saja memperparah komplikasi seperti preeklampsia dan juga inflamasi intrauterin.

“Sedangkan saluran pernapasan pada anak-anak tambahan kecil lalu masih berkembang. Frekuensi napas yang digunakan lebih lanjut cepat menghirup lebih tinggi sejumlah udara relatif terhadap tubuhnya dibandingkan dengan dewasa. Sistem kekebalan tubuh masih belum matang lebih tinggi rentan terhadap infeksi saluran pernapasan,” imbuh Dr. Agus.

Baca Juga  164 kendaraan terjaring razia uji emisi dalam Ibukota Selatan

Di tempat yang mana identik Co-Founder Bicara Udara Bebas Novita Natalia mengatakan, diskusi yang disebutkan menyoroti bagaimana polusi udara memiliki dampak negatif pada manusia khususnya berkembang kembang janin pada di kandungan, yang berpotensi menyebabkan stunting terhadap anak juga bagaimana kebijakan yang harus diambil untuk mengatasi permasalahan ini.

“Hasil dari paparan yang disebutkan kemudian ditanggapi oleh para pemangku kebijakan sehingga tercipta dialog yang dimaksud sehat pada forum antara peneliti lalu pemangku kebijakan. Hal ini menjadi penting lantaran sinergitas antara kedua aktor yang disebutkan merupakan kunci untuk memproduksi sebuah kebijakan penanganan polusi udara yang digunakan efektif,” pungkas Novita.

Check Also

Dokter RSCM: Infeksi Pneumonia Mycoplasma Lebih Ringan Daripada wabah pandemi Covid-19

Dokter RSCM: Infeksi Pneumonia Mycoplasma Lebih Ringan Daripada wabah Covid-19

Lingkar Post – Publik diminta tidak ada perlu khawatir dengan adanya ancaman infeksi pneumonia mycoplasma …