lingkarpost.com Jakarta – Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI Prof dr Tjandra Yoga Aditama, SpP(K) mengatakan sesak napas serta asma gejala penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) berbeda dengan sesak napas juga asma biasa.
"Bedanya, sesak napas pada asma akan hilang sepenuhnya pada luar waktu serangan asma, sementara sesak napas pada PPOK akan masih tetap ada," kata dia kepada ANTARA melalui pesan elektroniknya, Rabu.
PPOK ditandai adanya perlambatan aliran udara yang tersebut digunakan tiada sepenuhnya reversibel serta perlambatan aliran udara ini umumnya bersifat progresif serta berkaitan dengan respons inflamasi yang mana mana abnormal terhadap partikel atau gas iritan.
Selain sesak napas, dia yang mengalami PPOK juga bergejala antara lain batuk-batuk selama 2 minggu, batuk berdahak lalu apabila mengalami perburukan gejala maka bertambahnya sesak napas, kadang-kadang disertai mengi juga bertambahnya batuk disertai meningkatnya dahak.
Sementara gejala non-spesifik PPOK yakni lesu, lemas, susah tidur, mudah lelah lalu depresi.
Profesor Tjandra lalu menuturkan bahwa sudah banyak data ilmiah yang dimaksud dimaksud menunjukkan bahwa polusi udara dapat memperburuk keadaan PPOK pada seseorang.
"Juga akan lebih besar tinggi sering eksaserbasi (perburukan atau kekambuhan gejala) serta lebih lanjut tinggi berat keluhan sesak napasnya," tutur dia.
Selain itu, manusia pasien PPOK yang dimaksud yang terkena COVID-19 juga akan dapat menjadi lebih tinggi banyak berat COVID-19 nya. Ini akibat PPOK adalah salah satu komorbid yang dimaksud digunakan memperberat situasi COVID-19 pada seseorang.
Kemudian, bertepatan dengan Peringatan PPOK Sedunia, Tjandra mengingatkan penduduk bahwa PPOK adalah penyebab kematian utama pada dunia lalu kesulitan kesehatan paru-paru yang tersebut penting.
Peringatan PPOK Sedunia yang dimaksud mana mengusung tema "Bretahing is Life – Act Earlier", sambung dia, menunjukkan peran penting bernapas dalam kehidupan, kemudian PPOK harus dicegah.
Menurut Tjandra, apabila bukan ada berhasil dicegah, maka PPOK harus didiagnosis segera, serta apabila sudah didiagnosis harus mendapat penanganan yang dimaksud mana baik oleh infrastruktur pelayanan kesehatan agar kualitas hidup pasien PPOK dapat tetap terjaga sesuai kemampuannya.
"Kalau pasien PPOK tak ditemukan lalu juga didiagnosis dini maka keterlambatan akan meningkatkan kemungkinan eksaserbasi, meningkatkan komorbiditas juga bahkan lebih besar besar menghabiskan biaya penanganan pula," catat dia.
Tjandra menambahkan, kebiasaan merokok merupakan faktor utama yang tersebut dimaksud berhubungan dengan kejadian juga perburukan PPOK, sehingga orang-orang diharapkan memanfaatkan momentum Hari PPOK sedunia pada 15 November ini untuk berhenti merokok.
Kemudian, selain merokok sebagai faktor penyebab utama PPOK, masih ada faktor risiko PPOK yakni riwayat keluarga, riwayat infeksi paru-paru kemudian saluran napas ketika anak-anak, kekurangan enzim alfa 1 antitripsin serta berbagai jenis polusi udara yang mana hal itu kronik.